Jumat, 23 Desember 2011

Cinta yang Tak Terungkap



Suatu hari di keheningan malam, saat aku membaca buku di kamarku. Langit malam yang biasanya kelam, kali ini terlihat cerah bertabur bintang yang bersinar di langit. Kulanjutkan membaca buku yang sempat tertunda oleh indahnya langit yang tak sengaja tertangkap sudut mataku, kubaca baris demi baris yang entah benar-benar kupahami isinya atau tidak. Setelah membaca buku, aku tertidur dengan pulasnya tanpa mendengarkan bisingnya kendaraan yang lalu lalang di sekitar rumah dan akupun jatuh ke mimpi yang dalam.
“Yun..Yuniiiii..Yuni bangun, sudah subuh!”. Kudengar teriakan mamaku yang membangunkanku untuk shalat.
Aku belum sepenuhnya bangun dari tempat tidurku, hanya masih duduk terdiam di tempat tidurku itu. Sepertinya tadi malam aku tidur rusuh sekali, aku menyadarinya setelah melihat posisi tidurku  yang sudah tidak sesuai dengan posisiku sebelum aku tidur semalam, ditambah lagi dengan seprei pink kesukaanku yang sudah kusut, tapi aku tidak peduli, yang ku tahu hari ini aku harus memulai hari dengan indah. Aku bergegas beranjak ke kamar mandi biar hari ini aku nggak terlambat masuk kampus. Yah, maklumlah kebiasaan melamun malam sampai telat untuk bangun subuh. Pakaian yang akan kukenakan ke kampus sudah tertata dengan rapi di lemari, yaaaa tinggal mata dan tangan ini yang pandai-pandai memilih untuk dipakai hari ini. Sudah setahun belakangan ini aku memang sedang mengoleksi pakaian-pakaian yang aku hunting dari majalah-majalah terkenal. Dan kebanyakan diantaranya adalah pilihan mama yang menurutnya is the best. Ibuku adalah orang yang paling cantik dan paling baik sedunia, dan aku adalah anak kesayangannya. Walaupun anak kesayangan, tetap saja aku dibiarkan harus mengendarai motor sendiri ke kampus, kata mama sih biar aku nggak  dimanjakan secara berlebihan dan tidak menimbulkan kecemburuan sosial terhadap adikku, Rama yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. 
Setelah sarapan, aku bergegas ke kampus “Bu, aku ke kampus dulu yach?” sambil memanaskan motor MIO-ku ala scutter matic.
“Iya nak, hati-hati bawa motornya” sahutan ibu membalas ucapan pamitku.
Di kampus mata kuliah hari ini benar-benar membosankan. Rasanya hari ini aku datang ke kamus hanya untuk mengisi absen saja. Hanya cukup mengangkat tangan, tanda kehadiran ketika nama “Yuni Mahadiyanti” dipanggil oleh dosen, sesudah itu rasanya mau tidur, mau istirahat atau internetan lewat hp.
Baru saja aku akan membuka facebook lewat opera mini yang ada di hpku, tiba-tiba lagu yang tak asing di telingaku “I’m Yours” dari Jazon Miraz berbunyi keras di saku celana jeans yang aku kenakan. 
“Assalamualaikum” sapaku.
“Wallaikum salam, ini Yuni ya?”
“Yaa aku sendiri, ini siapa yach?”
“Ini dengan Arif Budiman”jawabnya singkat.
Sambil mengingat-ingat daftar nama yang tersimpan di memoriku, gambaran tentang nama itu, memang sudah tak asing lagi. “Kak Arif seniorku yah?” tambah penasaran.
“Ketua BEM Faperta dulu, masa lupa sih?”
“Oooh iyaaaa..apa kabar kak? Lagi dimana sekarang?” aku memulai pembicaraan.
“Lagi di BEM Faperta sekarang. Bisa ketemuan nggak sekarang?” semakin memperdalam pembicaraan.
“Oh bisa, kebetulan aku juga sudah selesai kuliah” jawabku tanpa ragu-ragu.
“Kamu ke Faperta aja ya, nanti aku jemput di parkiran kampus”.
“OK. Aku menuju ke sana sekarang kak!” dengan semangat yang berkobar-kobar, entah semangat dari mana yang aku dapatkan, setelah seharian ini tiga mata kuliah berturut-turut aku selesaikan.
“Yaa, nanti kalau adek sudah sampai, sms saja”.
“Iya kak”.
“Assalamualaikum dek” sambil menutup telepon genggang, tiba-tiba suara sorakan dari sekitarnya terdengar jelas di telingaku. “Ciiiieeeee, prikitiiiw!”
“Walaikum salam kak” sambil menahan rasa geliku ketika mendengar sorakan itu.
Kebiasaan melamun malamku, aku tinggalkan sejenak. Dan hari itu, aku ingat betul peristiwa tiga tahun lalu. Waktu itu hujan deras mengguyur kota Kendari, disertai angin kencang dan petir menyambar-nyambar. Aku berdiri di koridor kampus sambil menunggu hujan reda. Saat itu dia menghampiri aku dan teman-temanku.  Di saat yang bersamaan pula tubuhku menggigil kedinginan. Air hujan seolah menenggelamkan aku. Petir seolah menyambar-nyambar tubuhku dari berbagai sisi. Belum lagi angin kencang, seolah ingin menerbangkan aku dari koridor itu. Bagaimana tidak? Orang yang paling disanjung-sanjung, disegani, dan dihormati  ketika OSPEK sudah berada di depan mataku. 
“Bawa motor dek?” tanyanya lantang dengan suara bassnya.
“Tidak kak, soalnya hujan dari pagi. Jadi naik mobil pete-pete ke kampus” jawabku dengan berani.
Teman-teman seangkatanku heran melotot memandangiku. Sepertinya pemandangan ini untuk pertama kalinya mereka lihat. “Hmmmm bisa temani aku cuci foto?” lanjutnya.
“Haaa…ooohhh tapi kak, sekarang kan hujan?”
“Yaa maksud aku sebentar kalau hujannya reda”.
“iyyaaa..insyaallah” Jawabku singkat. Entah jimat apa, mantera apa, kekuatan konyol apa yang ia punya, sampai-sampai sore itu hujan pun reda. Pelangi pun mewakili perasaan teman-teman sekelasku ikut tersenyum dengan hadir menghiasi langit yang tadinya mendung.
“Apes dech” kesalku dalam hati. Dan sore itu pun juga aku menemani sang ketua BEM Fakultas Pertanian yang menjadi incaran anak-anak MABA dan tidak absen juga senior-seniorku yang menggila-gilakan sang pemimpin yang satu ini.
Yang lebih apesnya lagi, ternyata kami ditemani oleh dua orang bodyguard kak arif yang siap siaga kalau-kalau dibutuhkan bantuan mereka. Motor Thunder yang kami kendarai melaju dengan kencang seperti pembalap yang sudah profesional saja. Sedangkan dua rekan kak arif mengendarai motor satria yang bunyinya sangatlah bising. Tanganku tetap merapat di atas kedua pahaku, aku tak sedikit berbicara di dalam perjalanan. Menerima tawaran sang ketua  ini adalah kegiatan konyol yang pernah aku lakukan dan menyita waktuku bersama teman-teman genkku. Tidak cukup sampai disitu skenario perjalanan kami. Selanjutnya kami menuju MTQ, tepat di pinggir lampu merah SD Kuncup. Kami berempat makan es teler. Ini pun karena ajakan kak Arif yang serta merta aku harus menerima ajakan tersebut. 
Lampu merah, kuning, hijau berganti-gantinya menduduki posisinya. Kendaraan yang berlalu lalang pun dengan tertib mengikuti alunan warna-warni yang menghiasi besi berbentuk tabung itu dengan sedikit aliran listrik.
“Bu, es telernya 3, es pisang ijonya 1” pesan kak arif kepada pemilik jajakan es teler.
“Oooh ya tante, pisang ijonya jangan dikasih kacang ya?” tambahku.
“Dek.. sebenarnya saya mengajak kamu ke sini ingin membicarakan sesuatu”
Tiba-tiba rasa penasaranku muncul juga akan topik  pembicaraan kami. Padahal tadinya terasa hambar aja ketika ngobrol sama dia. “Apa itu kak?”
“Yaaaa..jangan-jangan kakak mau curhat yach?”
“Atau kakak lagi suka sama cewek, yang kebetulan teman satu kelasku?” godaanku ternyata tak manjur untuk seorang kak Arif. Malah detak jantungku tiba-tiba tidak beres, terasa di depan mata kamar operasi jantung menjemputku. 
“Waaah ada yang tidak beres, kenapa tiba-tiba dua orang ajudan kak Arif menghindar ketika topik ini dimulai mereka mojok di tempat lain sambil menikmati es teler yang kami pesan tadi.
“Bukan dek. Ini tentang kamu”. Keringat dari wajahnya tampak jelas.
“ Sebenarnya aku suka sama adek dari selesai OSPEK kemarin” jelasnya lebih lengkap.
“Aduuuh..bagaimana ya kak, kita kan baru kenal. Masa secepat itu kakak suka sama aku?”
Tampak jelas kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi itu adalah jawaban bulat yang terlontar dari mulutku. Aku juga tidak bisa menampik bahwa butuh pengenalan lebih lagi untuk menuju tahap pacaran. Dan aku tidak mau ada anggapan bahwa aku mau jadi pacar seorang ketua BEM karena jabatannya saat itu atau karena ia salah satu coverboy di kampus yang diperebutkan oleh cewek-cewek. 
Sejak saat itu, aku malu jika berpapasan dengan kak Arif di jalan ataupun di koridor kampus. “Tapi kenapa bisa aku yang malu” tanyaku dalam hati. Kabar aku menolak kak arif cepat tersebar seperti roket yang siap lepas landas dari bumi dengan kecepatan yang sungguh luar biasa. Banyak teman-teman, senior-senior baik dari satu program studi maupun dari program studi lain tahu tentang berita penolakan itu. Dan tidak sedikit pula dosen-dosen yang mengetahu hal yang sama. 
Cibiran-cibiran yang secara tidak langsung teman-teman kak Arif ucapkan “ Bisanya kamu menolak orang sebaik kak Arif?”
“Apa lagi yang kak arif kurang, sampai-sampai kamu tolak dia?” kata kak Farid, yang juga salah satu teman dekat dari kak Arif yang terus-terus ia bela.
“Kamu tidak tahu kak arif itu siapa, seenak kamu tolak dia?” tambah kak Haris, yang ikut menjadi bodyguard pada hari yang kelam itu.
“Dosen saja bangga-banggakan dia, apalagi cewek-cewek. Kamu tipe cewek seperti apa sih?” tambah rekan-rekan yang lain, sebut saja diantaranya Rara yang dari dulu sangat nge-fans sama kak Arif. Cibiran-cibiran ini memang yang membuat nafasku terengah-engah seperti berjalan menaiki gedung berlantai 66 dengan melewati tangga darurat.
“Huuuuf, bantu aku Tuhan…” keluhku saat itu. Aku akan membuktikan bahwa aku tidak akan tergila-gila dengan kak arif karena jabatan atau namanya yang memang sudah baik dimata orang-orang.
Ruang BEM, pukul 12.15 kami berkumpul dan saling menghangatkan suasana, yang sempat pudar 3 tahun yang lalu. Waktu terus bergulir dengan cepat, aku terus larut dalam detik waktu yang masih tersisa bersama kak Arif. Tapi dalam hatiku ternyata masih saja tersimpan harapan akan khayalanku peristiwa itu terjadi lagi. Apalagi ternyata sampai saat ini, kata semua teman-teman dekatnya, kak Arif belum juga terlihat  dekat dengan cewek yang resmi jadi pacarnya, dia masih nge-jomblo.
Tingkah dan gayanya masih dingin dan berkharisma seperti yang dulu. Dia pun masih menampakkan sosok kepemimpinannya. Aku menyadari perubahan yang sangat dratis ialah dia lebih sering tersenyum, agak gemuk, lebih berani melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupanku sekarang. Dalam benakku pun terlintas pertanyaan besar yang aku sendiri tak bisa melontarkan pertanyaan itu kepadanya. Aku pun berbaur dengan teman-temannya, yang masih teringat jelas mereka itulah yang pernah mencibirku. Yang menjadikan aku topik in the week yang hangat untuk dibicarakan. 
Tepat jam 14.30 kak Arif pamit ke aku dan teman-teman yang berada di ruang BEM. Ia pamit mesti packing barang. Karena jam 15.30 ia mesti melapor di bandara. Dengan percaya diri yang tinggi, aku mengajukan tawaran “ saya bisa mengantar kok kak!”.
“Senyum tipisnya pun mengembang” tanda setuju dengan tawaranku ini. Hatiku bercampur aduk seperti mendapat durian runtuh.
Sesampai di bandara aku, kak Arif dan keluarganya yang ikut serta mengantarnya berbicara dan tertawa lepas. Sejenak kami berdua terdiam seperti tidak ada topik yang ingin dibicarakan.
Beberapa saat kemudian “Dek, aku akan kembali ke Taliabo, tapi aku akan datang lagi sebelum lebaran nanti”. Kak Arif kembali membuka pembicaraan. Aku terdiam sejenak, oh iya ya aku lupa kalo kak Arif ke Kendari kan cuma menghabiskan cuti mingguan dan dia harus kembali memimpin perusahaan pertambangan baru di Taliabo.
Dengan wajah sedikit manyun “ Kak Arif, ingat pulang yach?” sambil berusaha kelihatan biasa-biasa saja di hadapan kak Arif agar kak Arif tidak mengetahui kalau aku tidak merelakan ia pergi. Sejak hari-hari di mana selama 3 tahun  kak Arif dengan sabar dan setia mencariku sampai pernah masuk di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, fakultasku sekarang. Bertanya kepada satu persatu mahasiswa yang sedang mondar-mandir di parkiran kampus. Di saat itulah aku mulai menaruh perasaan kepadanya. Sampai sigitukah ia mau menungguku.
Di saat-saat terakhir kami masih sempat berfoto bareng bersama-sama keponakan dan keluarga besarnya. Di depan pintu masuk penumpang, tanpa sadar air mataku menetes, tak kuasa menahan rasa kehilangan untuk kedua kalinya orang yang benar-benar sayang sama aku. “Dek.. aku berangkat dulu ya, jaga diri baik-baik. Nanti kita bisa chattingan lewat FaceBook”.
“Tapi maklum saja kalo aku jarang-jarang buka Facebook, soalnya disana tidak ada sinyal, pakek satelit kantor” menambah pilu dan rasa sedihku yang berkepanjangan.
“Kak..sebenarnya aku mau….”rasanya kata-kata itu terkandas di leherku.
“Kenapa dek..kok nggak disambung kalimatnya?” sambung kak Arif karena penasaran dengan ucapanku.
“ah nggak, aku cuman pengen bilang hati-hati”.
Penyesalan tertancap di dadaku karena aku tak mampu mengatakan yang sebenarnya. “ Oooh gitu, iya, thanks banget karena adek dah mau mengantar aku ke bandara” jawab kak Arif “Kalo gitu aku berangkat dulu ya dek, sampai jumpa lagi.
Kemudian dia berpelukkan dan berjabat tangan dengan sanak saudaranya, begitu pula aku menciumi tangan ketika tanganku dan tangannya terjabat erat. Kami pun berpandangan tak lama sebelum keberangkatannya menuju sit yang ia pegang. Sentuhan tangannya di atas kepalaku itulah yang terakhir aku rasakan. Sekarang kak Arif hanya menjadi impian dan teman khayalanku di malam hari. Entah dalam jangka waktu barapa lama kami akan bertemu kembali dengan perasaan yang tertutup rapat dalam hati kami masing-masing. 
Sambil melepaskan tangannya, aku berdoa kepada Allah ”Yaa Allah cinta yang pernah ia ungkap, pernah ia tawarkan kepadaku. Ingin aku membalas ungkapan darinya bahwa aku juga sayang dan mencintainya”. 
“Ingin rasanya aku berlari dan berteriak memanggil namanya dan andai Kau izinkan aku bisa memutar kembali waktu agar aku bisa mengungkapkan bahwa aku mencintainya karena Allah dan bukan saja mau jadi pacarnya”. “Akan tetapi aku mau bila ia menawarkanku menjadi teman hidupnya”menambah kesempurnaan doaku ini.
Kini aku terjerat cinta yang tak terungkap, sampai kapan pun akan tetap terukir dalam hatiku.


0 komentar:

Posting Komentar