BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan salah satu sarana untuk mengungkapkan masalahmanusia dan kemanusiaan. Sastra merupakan hasil cipta kreatif dari seorang pengarang, lahir melalui proses perenungan dan pengembaraan yang muncul dari realitas kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang berusaha untuk mengungkapkan nilai-nilaikemanusiaan yang lebih tinggi. Pengarang sebagian dari masyarakat menangkap raelitas nilai-nilai masyarakatnya, kemudian mengolah secara kretif, mengindentifikasi dan mengekspresikan dalam bentuk karya sastra. Dengan demikian melalui karya sastra dilakukan suatu proses terhadap ketimpangan-ketimpangan sosial maupun ketimpangan keyakinan sertamsebagai persoalan hidup di dalam masyarakat.
Nurhadi( 1987:127) mengemukakan bahwa membaca dan memahami karya sastrabukanlah pekerjaan yang mudah, karena kita berhadapan dengan sebuah teks tertentu yang harus diberi makna atau nilai.
Cerita rakyat adalah cerita yang berkembang pada masyarakat tertentu yang perkembangannya secara lisan dari mulut ke mulut dan dianggap sebagai milik bersama. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Djamaris (19193: 15), bahwa cerita rakyat adalah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang cecara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dikatakan sebagai cerita rakyat karena cerita ini hidup dikalangan masyarakat, dan semua lapisan masyarakat mengenal cerita ini.
Menurut James Danandjaja, dalam bukunya yang berjudul Folklor Indonesia (1984: 1) menjelaskan bahwa cerita rakyat merupakan bagian dari folklor, yakni tergolong folklor lisan yang dapat menggambarkan peri kehidupan dan kebudayaan masyarakat pendukungnya. Pengertian cerita rakyat dikemukakan pula oleh Fahruddin Ambo Enre (1981: 1) bahwa cerita rakyat merupakan suatu kebudayaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang diwariskan secara lisan sebagai milik bersama.
Dalam rangka mendalami pendalaman dan penghayatan kita terhadap karya sastra khususnya cerita rakyat, maka perlu diadakan kajian berupa penelitian. Penelitian tentang nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam cerita rakyat dimaksudkan dapat menambah dan menumbuhkembangkan minat baca dalam masyarakat agar tetap tau bagaimana cerita rakyat dari daerahnya. Sebab dengan mengetahui dan memahami nilai kehidupan dalam karya para pengarang, akan lebih mendewasakan pemikiran masyarakat, akibatnya masyarakat akan lebih terarik dan akan memotifasi diri untuk berusaha memahami karya sastra secara utuh, khususnya cerita rakyat dari daerah sendiri.
Untuk itu penulis bermasud menelaah nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam cerita rakyat yang berasal dari Jawa Barat, yakni Sangkuriang. Mengangkat judul “ Nilai-nilai Kehidupan dalam Karya Sastra Jawa Barat “. Hasil penelitian in nantinya diharapkan dapat mengungkapkan nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut. Dengan memahami nilai-nilai kehidupan yang disajikan penulis dalam penelitiannya baik itu hadir secara tersirat maupun tersurat, akanmembantu pembaca atau peminat satra lebih mudah memahami makna dan nilai yang terkandung dalam cerita rakyat tersebut.
1.2 Masalah
Masalah dalam penelitian ini adalah “Nilai-nilai apa saja yang terdapat dalam cerita rakyat Jawa Barat (Sangkuriang)”
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat Jawa Barat (Sangkuriang).
1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Pembaca sebagai penikmat sastra akan lebih memahami nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam cerita rakyat Jawa Barat.
2. Sumbangan pemikiran dan bahan banding sekaligus motifasi penilian selanjutnya dan aspek-aspek yang dianggap relevan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian sastra
Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan bahasa sebagai medianya. Satra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nila- sosial, filsafat religi, dan sebagainya. Kehadiran sastra sebagai bagian dari kebudayaan dan peradaban umat manusia, tidaklah terbatas pada hal-hal yang subjektif sifatnya atau semata-mata berorientasi pada pribadi seorang sastrawan. Kehadiran karya sastra ke tengah-tengah masyarakat memberikan kehangatan baru dalam hidup dan membuat masyarakat dapat memperoleh obatyang mujarab untuk memperbaiki moral yang bobrok, meningkatkan hubungan sosial antara sesama manusia dan Tuhannya.
Secara etimologi kesusastraan adalah ihwal sastra. Kata sastra berasal dari gabungan su artinya baik/bagus/indah, ditambah sastra artinya tulisan. Semi (1988:8) menyatakan bahwa sastra adalah suatu bentuk hasil dan pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Sastra juga dapat diartikan sabagai karangan lisan atau tulisan yang memiliki keunggulan seperti keindahan, keaslian, dan keartistikan dalam isi dan ungkapan.
2.2 Pengrtian Sastra Lisan
Sastra lisan adalah jenis atau kelas karya sastra tertentu yang dituturkan dari mulut ke mulut, tersebar secara lisan, anonim menggambarkan masa lampau Shipley, (Gafar, 1990: 13) yang dimaksudkan dengan sastra lisan adalah yang penyebarannya secara lisan dan tidak dalam bentuk tokoh(Araby, 1983: 2) pengertian yang sama juga dikemukaan oleh Atmazaki (1986: 82) bahwa sastra lisan adalah sastra yang disampaikan secara lisan dari mulut seseorang pencinta atau penyair pada seorang atau kelompok pendengar.
Seiring dengan pendapat di atas juga, Aliana, (1984: 5) menjelaskan bahwa sastra lisan adalah sastra yang pengembanganya secara lisan. Sedangkan menurut Balawa (19191: 23) mengemukakan bahwa sastra lisan merupakan salah satu jenis sastra yang lahir dan berkembang pada zaman klasik. Jenis sastra lisan yaitu dongeng, cerita rakyat, legenda, mitos, gurindam, dan hikayat. Batasan yang lebih lengkap pula dapat dikemukakan oleh Hutomo (1983: 2) sastra lisan atau kesusastraan lisan adalah kesusastraan yang merupakan ekspresi kesusastraan karya suatu kelompok kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan.
Penyebaran dan pewarisan sastra lisan biasanya dilakukan melalui tutur kata atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu, pengingat, oleh generasi yang satu kedapa generasi berikutnya. Sehingga dengan demikian sastra lisan dalam perkembangannya telah menjadi hasil kebudayaan yang bersefat tradisional.
Uraian di atas ternyata dapat memberikan pemahaman tentang sastra lisan yang memiliki fenomena, berupa hal-hal mendasar yang perlu diketahui oleh masyarakat pendengar cerita itu.
Secara garis besar, ekspresi sastra lisan terbagi menjadi dua bagian besar yaitu: (a) sastra lisan murni, yaitu sastra lisan yang benar-benar dituturkan secara lisan yang berbentuk prosa murni (dongeng, cerita rakyat, dan lain-lain), ada juga yang berbentuk prosa lirik (yang penyampaianya dengan dinyayikan atau dilagukan), sedangkan dalam bentuk puisi berwujud nyayian rakyat (pantun, syair, tembang kanak-kanak, ungkapan-ungkapan tradisional, dan teka-teki berderama dan lain-lain). (b) sastra lisan yang setengah lisan, yaitu sastra lisan yang penuturnya dibantu oleh bentuk-bentuk seni yang lain misalnya: sastra ludruk, sastra ketoprak, sastra wayang dan lain-lain (Hutomo, 1983:9-10).
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat kita pahami bahwa cirri-ciri sastra lisan adalah sebagai berikut.
1. Anonim, yaitu karya-karya sastra lisan itu tidak diketahui oleh pengarangnya.
2. Statis, yaitu baik isi maupun cerita sangat lambat perubahannya.
3. Religious, karya-karya itu berhubungan dengan agama dan kepercayaan yang dianut.
4. Klise imajinatif, yaitu baik isi maupun bentuknya adalah meniru bentuk yang sudah ada sebelumnya.
2.3 Fungsi Sastra Lisan
Karya sastra khususnya yang tergolong sastra lisan mengandung peranan positif yang dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan bagi generasi muda.
Fungsi sastra lisan perlu diketahui bahwa bagaimana makna yang tercantum dalam isi cerita itu dan disamping itu kita dapat mengetahui fungsi sastra lisan melalui resepsi idiom reaksi dan pendapat masyarakat (Apituley, 1991:12)
Apituley berpendapat bahwa sastra lisan mempunyai fungsi sebagai berikut:
Pertama, fungsi mendidik. Aspek mendidik dalam sastra lisan antara lain
(a) Membina tingkah laku yang baik, agar tercapai keserasian hidup bersama.
(b) Membina kemauan dan perasaan seperti kemauan keras, sabar dan tidak sombong.
(c) Mendidik moral yang tinggi, seperti jujur, belas kasih, dan suka menolong.
(d) Pengajaran yang berupa hidup hemat dan sebagainya.
Kedua, fungsi menyimpan budaya. Dengan mendengar sastra lisan, generasi muda dapat mengetahui bagaimana sikap hidup yang luhur dari nenek moyang, struktur kekeluargaan, cara bergaul, dan sistem pemerintahan dapat diketahui dengan menganalisis lebih dalam isi cerita secara signifikan, faktor-faktor sejarah juga dapat diketahui melalui sastra lisan.
Ketiga, fungsi motivasi. Tujuan orang tua menceritakan sastra kepada anaknya, tidak lain agar anak-anak dapat mengambil manfaatnya dari cerita itu. Mereka juga mengharapkan dapat mengikuti yang baik dan meninggalkan yang buruk, seperti memberi motivasi, bekerja keras, dan meninggalkan sifat malas.
Keempat, fungsi rekreasi. Orang selalu merasa senang apabila mendengar cerita dan ini biasanya dilakukan jika orang telah selesai dengan segala pekerjaannya, lalu seorang melalui bercerita, baik yang lucu maupun yang mengharukan.
Sejalan dengan pernyataan di atas, Bascom (Danandjaja 1984: 190) bahwa satra lisan merupakan bagian folklor yang mempunyai fungsi sebagai berikut: (1) sebagai sarana pendidikan anak, (2) sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, dan (3) sebagai alat pemaksa dan pengawasan agar norma-norma masyarakat dapat dipatuhi oleh warganya.
2.4 Pengertian Cerita Rakyat
Cerita rakyat adalah cerita yang berkembang pada masyarakat tertentu yang perkembangannya secara lisan dari mulut ke mulut dan dianggap sebagai milik bersama. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Djamaris (19193: 15), bahwa cerita rakyat adalah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang cecara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dikatakan sebagai cerita rakyat karena cerita ini hidup dikalangan masyarakat, dan semua lapisan masyarakat mengenal cerita ini.
Menurut James Danandjaja, dalam bukunya yang berjudul Folklor Indonesia (1984: 1) menjelaskan bahwa cerita rakyat merupakan bagian dari folklor, yakni tergolong folklor lisan yang dapat menggambarkan peri kehidupan dan kebudayaan masyarakat pendukungnya. Pengertian cerita rakyat dikemukakan pula oleh Fahruddin Ambo Enre (1981: 1) bahwa cerita rakyat merupakan suatu kebudayaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang diwariskan secara lisan sebagai milik bersama.
Dengan demikian berdasarka hal di atas, tampak jelas bahwa cerita rakyat banyak mengandung muatan nilai-nilai luhur yang berharga dalam momentum kehidupan.
2.5 Fungsi Cerita Rakyat
Secara eksplisit cerita rakyat merupakan suatu genre sastra Indonesia sebagai jenis sastra, maka dengan sendirinya cerita rakyat mempunyai fungsi sosial yang begitu tinggi dan berharga di dalam msyarakat.
Cerita rakyat tidak hanya bermanfaat sebagai bahan untuk memahami keadaan masyarakat masa lampau dan se,ata-mata alat hiburan, tapi juga fungsi cerita rakyat menurut Boscom (Sikki, 1986: 13-14) adalah sebagai berikut:
1. Cerita rakyat sebagai alat angan-angan kelompok, peristiwa yang diungkapkan sukar terjadi dalam kenyataan hidup. Cerita ini hanya merupakan proyeksi anagn-angan atau impian rakyat jelata;
2. Cerita rakyat digunakan sebagai alat pengetahuan dan pengikat adat kebiasaan kelompok, pranata yang merupakan lembaga kebudayaan masyarakat yang bersangkutan;
3. Cerita rakyat berfungsi sebagai alat pendidik budi pekerti kepad anak-anak atau tuntunan hidup;
4. Cerita rakyat berfungsi sebagai alat pengendali sosial (sosial control) atau alat pengawasan agar norma-norma masyarakat dipatuhi.
2.6 Unsur-unsur Pembentuk Cerita Rakyat
Pada prinsipnya ada dua unsur penting pembentuk prosa rakyat lisan, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang menbangun karya sastra itu sendiri. Unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebaagai karya yang dilihat dan dijumpai apabila orang sedang membaca karya sastra. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi karya sastra. (Nurgiantoro, 1995:23)
Sumardjo (1986: 37) mengatakan bahwa:
“Ketentuan atau kelengkapan sebuah karya sastra (termasuk cerita rakyat) dilihat dari segi unsur pembentuknya. Adapun unsur-unsur itu adalah peristiwa cerita (alur atau plot), tokoh cerita (karakter), tema cerita, amanat, suasana cerita, latar cerita (setting), sudut pandang pengarang, dan gaya pengarang.”
Selanjutnya unsur-unsur yang membangun karya sastra tersebut dapat dijelaskan di bawah ini.
2.6.1 Alur atau Plot
Menurut Baribin (1983: 61) mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur kangkaian kejadian dalam cerita yang tersusun secara logis. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sumardjo (1986) bahwa alur atau plot adalah sambung-menyambungnya peristiwa berdasarkan hukum sebab-akibat yang tedapat dalam cerita.
Kedudukan alur atau plot dalam sebuah cerita terkesan maju mundur atau tidak menentu, karena struktur penderitanya tidak menentu pula.
Alur dan plot merupakan tulang punggung dalam sebuah cerita, karena dengan adanya alur maka dapat menuntun kita dalam memahami cerita dengan segala sebab akibat di dalamnya.
2.6.2 Karakter Tokoh (Perwatakan)
Karakter atau tokoh adalah sifat atau ciri khas yang dimiliki oleh tokoh, kualitas nalar dan jiwanya, yang membedakan dari tokoh yang lain. Karakter tokoh menurut pandangan Sumardjo (1986: 64) mengatakan bahwa sebuah cerita banyak ditentukan oleh kepandaian penulis menghidupkan watak tokoh-tokohnya.
Dalam cerita rakyat, perwatakan atau tokoh adalah pelukisan tokoh atau pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap, dan tingkah lakunya dalam cerita, termasuk prasaan, cara berfikir dan cara bertindak.
2.6.3 Tema Cerita
Istilah tema berasal dari kata thema yaitu ide yang menjadi pokok suasana pembicaraan atau ide suatu tulisan. Tema merupakan gagasan inti. Menurut Hartoko dan Rahmanto (1986: 142) tema dalam sebuah karya sastra adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkadang di dalam sebagai struktursemantis dan yang akan menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.
2.6.4 Latar Cerita (setting)
Menurut Wellek dan Waren yang dikutip oleh Budianta (2000: 86) menyatakan bahwa latar adalah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonemia. Metafora, dan ekspresi tokohnya. Latar juga merupakan segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra yang dapat bersifat fisik, realitas, atau berupa deskripsi perasaan.
2.7 Nilai Kehidupan dalam Sastra
Sebuah karya sastra yang baik mustahil dapat menghindar dari dimensi kemanusiaan, lengkap dengan segala lika-likunya yang bergelayut dengan masalah kehidupan manusia dengan segala proplematikanya yang begitu mamejuk. Kejadian-kejadian yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya dijadikan sebagai sumber ilham bagi para sastrawan yang kemudian ditarik kedalam khasanah imajinasi untuk dihayati, direnungkan, kemudian disalurkan menjadi karya sastra.
2.7.1 Kejujuran
Jujur dalam arti sempit adalah sesuainya ucapan lisan dengan keyataan. Dan dalam pengertian yang lebih umum adalah kesesuaian lahir dan batin.
Jujur artinya keselarasan antara yang terucap dengan kenyataan. Jadi, kalau suatu berita sesuai dengan keadaan yang ada, maka dikatakan benar/jujur, tetapi kalu tidak, maka dikatan dusta. Kejujuran itu ada pada ucapan, juga ada pada perbuatan.
2.7.2 Saling Menghormati
Ihtiram artinya saling menghargai atau saling menghormati terhadap sesama manusia. Saling menghargai adalah syfat yang harus dimiliki oleh setiap muslim sebagai wujud dari ahlul mahmudah.
2.7.3 Ketaatan
Dalam kamus bahasa Indonesia (2008) terdapat tentang definisi tentang taat yaitu senantiasa tunduk kepada Tuhan, perintah dan sebagaianya. Sedangkan ketaatan adalah kepatuhan, kesetiaan, dan kesalehan.
2.7.4 Ketabahan
Ketabahan merupakan sebuah proses kekuatan jiwa seseorang. Ketabahan bukan saja proses yang identik dengan kemiskinan sandang-pangan, tetapi dalam arti luas bisa berarti tabah menghadapi penderitaan akibat penyakit atau cobaan hidup yang dihadapkan pada masalah interaksi, relasi, dan kehilangan orang terdekat. Bahkan ketabahan seseorang akan teruji kala mengikuti audisi, pertandingan, persaingan dalam bisnis, prestasi karir, sekolah juga dalam pergaulan (Hendranata, 2007).
2.8 Prinsip Moralitas
Moralitas selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Perbuatan moral adalah tingkah laku yang muncul dari dorongan akhlak yang berbeda dari dalam jiwa. Jika tingkah laku baik dan sudah menjadi kebiasaan disebuat moralnya baik, demikian sebaliknya. Dengan demikian perbuatan seseorang adalah cermin dari moral.
Norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Suseno (1995) dalam bukunya yang berjudul “Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral” menyatakan bahwa prinsip-prinsip moralitas terbagi atas jujur, adil, tanggung jawab, dan kerendahan hati.
BAB III
METODE DAN JENIS PENELITIAN
3.1 Metode dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik deskriptif kualitatif yaitu metode yang lebih menempuh pada penafsiran logika untuk memperoleh data yang diteliti. Data yang dikaji dideskripsikan sedemikian rupa sehingga diperoleh ganbaran yang utuh mengenai nilai-nilai kehidupan yang terdapat dalam cerita rakyat Jawa Barat.
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan. Oleh karena itu peneliti harus terjun langsung ke lapangan intuk mendapatkan data.
3.2 Data dan Sumber Data
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data tertulis yang bersumber dari teks cerita rakyat Sangkuriang dari Jawa Barat.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah wawancara, baca, catat. Teknik baca adalah membaca dengan menelaah teks cerita Sangkuriang.
3.4 Teknik Analisis Data
Data penelitian ini akan dianalisis berdsarkan sosiologis yaitu pendekatan yang bertolak dari asumsi dasar bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain pendekatan sosiologis berupa mengungkapkan fenomena sosial yang berada dalam masyarakat. Dalam menggunakan pendekatan sosiologis, peneliti mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan nilai-nilai kehidupaaan yang ada dalam cerita Sangkuriang.